Budaya kita, budaya mencontek
Mencontek atau meniru atau plagiat bukan barang baru di negeri ini. Ketika kita sekolah dulu, pernahlah (maaf kalo ada yang keberatan) kita satu dua kali mencontek, dengan gaya apapun. Ada yang ditaruh dikertas kecil dan tulisan sebesar semut (saat ulangan), atau contek-mencontek dengan gaya kode jari, hingga mencontek dengan kedipan mata, goyangan kepala, dan gerakan bulpen. Jadi lucu juga kali ya, kalo saat ulangan menerapkan sistem contek kode-kodean begini. Kira-kira bakal seramai apa itu ujian? Bayangkan, ada yang mengkedip2kan mata, ada yang mengangguk2, menggeleng2 hingga bulpen jatuh dan terbatuk2. Hehehe...
Kalo soal meniru, itu juga bukan soal yang aneh. Banyak di negeri ini kita jumpai kawan-kawan kita atau bahkan kita sendiri senang atau hobi meniru2. Dari meniru sang idola (artis, selebritis) hingga meniru tingkat tinggi yaitu meniru konsep pemikiran atau ide. Tidak heran beberapa waktu lalu Tukul Arwana hampir digugat seseorang tak dikenal yang mengaku penemu ide gaya tepuk tangan 'ala tukul' yaitu dengan menepuk2 kedua telapak tangan secara vertikal, jadi menyerupai gaya tepuk tangan maaf monyet. Memang ide-lah yang mahal. Bukan soal sulit atau gampang, tapi bagaimana menemukan ide itulah yang menjadi issunya.
Gaya mencontek atau meniru inipun juga merambah dunia bisnis. Kebetulan bersinggungan langsung dengan bisnis yang saya jalani. Yaitu Warnet. Sebelum mendirikan warnet di daerah tempat saya tinggal sekarang, saya mengamati banyak orang menganggap warnet atau bisnis berhubungan dengan komputer adalah bisnis yang bagus namun salah lokasi. Bisnis seperti itu sepertinya sudah diplot harus di daerah kampus atau sekolahan. Lain halnya dengan counter hp atau toko pulsa. Sekarang ini dimana pun bisa mendirikan usaha pulsa atau ponsel. Pulsa saat ini sudah termasuk 'sembako'. (bersambung)